Budaya hidup yang boros dari sebagian masyarakat Indonesia terutama kalangan menengah keatas. Contoh - contoh yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat dalam penghematan listrik masih sangat rendah. Mereka seakan - akan tidak sadar bahwa penghematan penggunaan energi listrik bukan sekedar permasalahan menurunkan biaya tagihan listrik. Melainkan adalah penghematan sumber bahan bakar fosil yang menjadi sumber energi primer bagi pengadaan listrik. Lamban dan tidak terfokusnya kebijakan pemerintah untuk diversifikasi sumber energi. Beberapa kebijakan tentang energi alternatif pun terkadang juga kurang efektif dengan rendahnya reward dan punishment. Krisis energi listrik dalam negeri yang ditandai dengan kenaikan tajam harga BBM, pemadaman listrik bergilir akibat kenaikan harga minyak dunia malah disikapi dengan " sekedar " himbauan untuk melakukan penghematan yang ternyata justru banyak dilanggar oleh aparat pemerintah sendiri (terutama para pejabat dan keluarganya). Menarik memang mencermati apa yang dilakukan pemerintah dan jajarannya ( termasuk PT. PLN sebagai sebuah BUMN ) untuk menangani ancaman krisis energi listrik yang mulai melanda negeri ini. Saat pemerintah meminta masyarakat untuk melakukan pengehematan listrik beberapa waktu yang lalu, ternyata efektivitasnya pun sangat kurang. Budaya masyarakat pada kalangan menengah keatas yang menuntut mereka untuk menghambur - hamburkan energi listrik (seperti yang sudah dibahas sebelumnya), sebenarnya adalah masalah telah terjadinya kapitalisasi dan matrealisasi terhadap gaya hidup pada masyarakat Indonesia. Budaya barat yang cenderung kapitalistik dan matrealistik inilah yang menyebabkan tuntutan hidup mereka untuk mempunyai rumah mewah dengan pekarangan luas, taman dan kolam renang yang sangat membutuhkan penyediaan energi listrik yang cukup banyak (padahal mereka tidak terlalu membutuhkan). Dengan alasan " kepuasan tersendiri " jika memiliki berbagai kemewahan " boros listrik " ini mereka sangat berat untuk diminta berhemat. Sulit memang jika "gengsi" sebagai sebuah kebutuhan pisikologis bagi masyarakat kapitalis boros ini sudah menjagkit pada masyarakat kita, dimana penggunaan listrik yang mereka lakukan terkadang tidak produktif ( sebuah fakta menarik dari Menko Ekuin Budiono yaitu : Elastisitas penggunaan energi di Indonesia masih sekitar 1, 84 % artinya kenaikan Produk Domestik Bruto 1 % membutuhkan kenaikan konsumsi energi sekitar 1, 84 % hal ini sama saja kalau produktivitas masyarakat Indonesia naik 1 % berarti konsumsi mereka terhadap energi harus naik 1,84 %. Ini menunjukkan borosnya pengguna energi di Indonesia ). Dengan demikian, saat pemerintah dan juga PT. PLN meminta masyarakat untuk berhemat, maka hasilnya pun cukup mengecewakan dan amat sangat sulit. Sebab kita sekarang harus mengubah budaya masyarakat yang sudah terlanjur menjadi kapitalistik ini menjadi hidup yang hemat. Persoalan merubah budaya bukan persoalan yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Menurut Steven R. Covey dalam buku The Seven Habbits -nya, merubah budaya adalah merubah kebiasaan, merubah kebiasaan adalah merubah paradigma berfikir seseorang. Perubahan paradigma berarti memang merubah struktur tata nilai masyarakat yang ada. Hal ini menjadi sangat lama apalagi jika kesadaran kurang. Masyarakat yang sadar akan menipisnya sumber energi di Indonesia saja sudah sangat sedikit (umumnya adalah kalangan akademisi dan praktisi engineering dan kaum terpelajar). Sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan himbauaan penghematan sudah akan sangat sulit untuk terlaksana. Selain pemborosan yang dilakukan oleh masyarakat pengguna energi listrik, PT. PLN sebagai satu - satunya perusahaan yang menjadi penyedia layanan energi listrik ternyata juga melakukan pemborosan yang cukup signifikan yang menyebabkan rendahnya produktivitas penggunaan energi listrik di Indonesia yang makin lama makin menipis ini. Inefisiensi ini terjadi akibat mulai tuanya mesin-mesin pembangkit di Indonesia (nilai effisiensi mesin secara termodinamik menurun), transmisi jaringan yang sudah sangat tua sehingga susut energi pada jaringan PLN menjadi cukup besar, pencurian listrik yang melibatkan orang dalam cukup besar, perhitungan kebutuhan daya listrik riil masyarakat yang selalu keliru dengan defiasi yang tinggi serta praktek KKN yang masih terlalu tinggi ditubuh PLN. Memang sebenarnya PT. PLN sendiri sekarang sedang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan diatas namun memang hasilnya belum banyak mengkontribusi untuk penghematan energi listrik secara nasional. Lalu kalau kita lihat sebenarnya solusi yang cukup tepat adalah dengan melakukan diversivikasi energi dengan menggunakan energi alternatif atau energi terbarukan. Di Indonesia sebenarnya telah ada baik lembaga penelitian maupun akademik yang telah mencoba mengembangkan riset - riset untuk menemukan energi alternatif dan terbarukan. BPPT mempunyai bidang teknologi pengembangan sumber daya alam, pusat penelitian fisika LIPI mempunyai bidang teknologi energi terbarukan. Selain itu bidang energi terbarukan juga dikembangkan di kalangan akademisi terutama pada jurusan Teknik Fisika, Teknik Kimia dan Teknik Mesin di berbagai Universitas dan Institut besar di Indonesia. Bukan itu saja, pemerintah pun mendukung dengan berbagai macam regulasi baik dalam bentuk undang - undang, keputusan presiden atau pun instruksi teknis para menteri seperti Keputusan Presiden RI no. 43 tahun 1991, tertanggal 25 Sept 1991 yang isinya adalah menuntut adanya audit tentang penggunaan energi bagi bangunan gedung, Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi yang jelas - jelas menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan diversifikasi energi dengan mengembangkan energi alternatif dan terbarukan dalam pasal - pasalnya. Menko Ekuin Budiono juga menegaskan bahwa pemerintah akan serius dalam diversivikasi energi karena menipisnya energi di indonesia dikhawatirkan akan menurunkan daya saing perekonomian Indonesia di dunia. Telah banyak sekali instrumen penting yang dimiliki oleh Indonesia untukmencoba mengembangkan energi alternatif dan terbarukan. Namun apa yang menyebabkan perkembangan energi terbarukan kemudian sangat lambat dan seakan - akan hanya ada dalam " meja - meja penelitian " atau ada di "ratusan halaman skripsi mahasiswa". Masyarakat awam kebanyakan mungkin masih sangat asing dengan biodiesel, bioethanol, fuel cell, biogas, photo voltaic, biomasa, energi angin dan berbagai instilah dalam energi alternatif yang lain (kami saja baru mengenal istilah tadi setelah menjadi mahasiswa di Teknik Fisika). Apa yang sebenarnya salah ? . Hemat kami ada beberapa hal yang menyebabkan permasalahn ini terjadi yaitu : Tidak adanya strategi pemerintah yang jelas dan aplikatif tentang penggunaan energi nasional. Peraturan pemerintah yang sudah dibuat masih dalam bentuk strategi umum belum dalam strategi aksi. Ini yang dinilai belum ada dan sebenarnya hal ini sudah terjadi berlarut larut. Contohnya, penggunaan gas alam bagi industri, ternyata lebih murah dibandingkan dengan penggunaan minyak bumi, tetapi Indonesia malah mengekspor gas bumi dan memakai minyak bumi, lalu saat minyak bumi merangkak naik terjadilah kesulitan energi. Contoh lain misalnya seperti yang diungkapkan oleh wakil ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat. Beliau mengatakan mengapa keberhasilan BPPT dalam membuat bio oil yang perbandingan nilai kalorinya 1 liter minyak bakar = 1,54 liter bio oil seharga Rp. 1.540,00 tidak pernah disosialisasikan oleh pemerintah. Selain itu ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, Ferry Firmanysah mempertanyakan tentang kebijakan pemerintah yang tidak konsisten terhadap penggunaan energi alternatif, sebelumnya pemerintah meminta untuk menggunakan briket batu bara kepada industri, industri kemudian melakukan investasi kesana. Hasilnya memang mampu menghemat pengeluaran perusahaan sampai 600 juta per bulan. Tetapi tiba - tiba pemerintah meminta untuk menggunakan bio petroleum. Menurutnya keadaan seperti in malah memberatkan industri. Pemerintah kemudian terkesan tidak mempunyai strategi yang jelas. Sebenarnya industri hanya membutuhkan kepastian penggunaan energi alternatif jenis apa.Tidak ada reward yang jelas terhadap pengembangan energi alternatif. Dalam Executive Summary Sumber Energi Alternatif Menuju Ketahanan Energi Nasional yang di keluarkan oleh LEMHANAS, dikatakan bahwa dibutuhkan suatu kemudahan (reward) bagi pengembangan energi alternatif seperti yang dilakukan oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, disana dibentuk sebuah lembaga khusus yang mengembangkan riset dan mancari investor untuk pengadaan energi alternatif atau terbarukan ini. Lalu seperti di Malaysia pemerintah memberikan Elaun Modal Dipercepatkan (Accelerated Capital Allowance, ACA) bagi barang-barang yang menggunakan energi alternatif atau barang yang hemat energi. Selain tu tidak adanya dukungan serius dari pemerintah terhadap penelitian di bidang energi alternatif atau terbarukan. Hal ini terlihat dengan minim nya dana penelitian dan pengembangan. Juga rendahnya fasilitas pendidikan di program studi yang mengembangkan energi terbarukan. Dukungan investasi energi terbarukan masih rendah. Untuk dapat diproduksi secara masal maka dibutuhkan investasi ( yang tidak sedikit ) bagi produksi energialternatif. Sayangnya ketertarikan investor pada bisnis energi terbarukan masih sangat rendah. Walaupun baru - baru ini Badan Koordinasi Penanaman modal baru saja pengeluarkan izin terhadap tujuh perusahaan produsen biopetroleum. Namun kapasitas produksi mereka masih jauh dari yang dibutuhkan masyarakat. Mungkin hal ini disebabkan oleh duahal yang telah kita bahas sebelumnya. Juga dimungkinkan oleh sulitnya administrasi perizinan investasi di Indonesia. Dari uraian di atas kami memberikan beberapa masukan untuk kebijakan pemerintah yaitu: 1.Sosialisasikan pada maysarakat tentang menipisnya energi primer di Indonesia agar tumbuh kesadaran untuk berhemat pada masyarakat. 2.Tingkatkan effisiensi PT. PLN. 3.Buat lah strategi pengembangan nasional energi alternatif dan terbarukan yang aplikatif dan progresnya dapat dilaksakan oleh maysarakat 4.Buatlah penghargaan dalam bentuk kemudahan bagi pengembang energi alternatif atau terbarukan. 5.Tingkatkan fasilitas dan dana penelitian pada lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang mengembangkan energi terbarukan. 6.Promosikan keuntungan bisnis energi alternatif pada para investor Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sulit melepaskan diri dari jeratan monopoli PLN. Dan kita tahu bahwa tarif TDL kita sangat mahal. Sudah begitu pemerintah lebih bodoh lagi dengan membiarkan monopoli ini terus berakar kuat tanpa ada kebijakan atau solusi yang kreatif. Bukankah para staf ahli pemerintahan kebanyakan adalah orang-orang terpelajar yang amat-sangat terpelajar? Solusi untuk berhemat seharusnya tidak perlu didengungkan. Karena memang kebutuhan listrik dewasa ini dimana eranya teknologi dan industri maju sudah pasti akan terus naik. Sayangnya memang mungkin kurangnya rencana pengembangan dan kebijakan kelistrikan, atau memang karena pemerintah/PLN tidak punya uang, maka peningkatan kapasitas pasok listrik negara sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan dan peningkatan konsumsi listrik masyarakat. PLN tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa mereka tidak bisa memasok listrik sampai ke pelosok negeri ini sebagai bagian dari USO. Sudah begitu manajemen PLN terlihat tidak baik dengan semakin terpuruknya neraca keuangan PLN sampai harus meminta subsidi pemerintah karena defisit. Solusi jitu untuk masalah yang merupakan lingkaran-setan ini adalah dengan melakukan swadaya listrik. Dengan begitu kita bisa bebas dari polemik berkepanjangan ini dan bisa terbebas dari masalah PLN dan pemerintah (yang selalu bermasalah). Mengapa kita harus mandiri? Bukankah kita memiliki PLN? Bukankah lebih lebih praktis jika berlangganan PLN? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus melihat ke permasalahan saat ini. PLN dan pemerintah telah mengajukan kenaikan TDL dan DPR beserta rakyat telah menolaknya mentah-mentah. Lucunya PLN/Pemerintah hanya mengusulkan 2 opsi, yaitu: 1.TDL naik. Terakhir diberitakan akan naik 10-15% untuk pelanggan 2,000 watt. 2.Pemerintah harus memberi (menaikkan) subsidi untuk menalangi defisit PLN. Tampak memang pemerintah didesak untuk menyetujui kenaikan tarif hanya gara-gara ditodong subsidi. Pemerintah tidak memberikan solusi lain di luar kedua solusi di atas. Lucunya DPR juga menolak dengan dalih-dalih berdasarkan ke-2 opsi yang disodorkan tersebut. Mungkinkah ada solusi lain selain kedua solusi di atas? Berikut ini beberapa pilihan yang dapat dipertimbangkan a. Swadaya Listrik Daerah Beberapa daerah terpencil yang tidak terjamah PLN telah dengan kreatif mengadakan swadaya listrik dengan dibantu beberapa universitas atau LSM yang peduli terhadap mereka. Seharusnya proyek swadaya listrik ini juga dapat diterapkan di pedesaan atau perkotaan walau pun sejatinya desa atau kota ini telah memiliki pasokan listrik dari PLN. b. Swadaya Listrik Industri Beberapa industri baik berskala rumahan mau pun berskala menengah-besar telah memiliki sumber daya listrik independen. Biasanya berbahan bakar solar (atau campuran bio-diesel). Dan tragisnya industri ini terpuruk saat kenaikan BBM tempo hari. Peristiwa tragis ini membuat banyak industri gulung tikar, atau minimal mengurangi jam operasi dan jumlah karyawan. Korbannya lagi-lagi adalah masyarakat (buruh) yang bekerja di industri ini. Setelah mereka dihantam kenyataan bahwa harga-harga kebutuhan pokok naik, kini mereka malah tidak memiliki penghasilan karena di-PHK. Mengapa harus hemat Energi? |
Jawa Pos sumber:http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/news/mbl_detail.php?news_id=2265 |
Monday, March 10, 2014
Permasalahan Kelistrikan di Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment