Kalau impor gas alam lebih besar dari produksi dalam negeri, dampaknya bisa sangat luas—baik dari segi ekonomi, energi, maupun politik. Yuk kita bahas:
1. Ketergantungan Energi
Negara jadi sangat tergantung pada negara lain untuk sumber energi strategisnya. Ini bikin:
-
Kerentanan geopolitik: Kalau negara pemasok ada konflik, embargo, atau gangguan suplai → bisa krisis energi.
-
Keterbatasan kendali harga: Harga gas jadi sangat terpengaruh oleh pasar global, bukan oleh kemampuan dalam negeri.
2. Tekanan Neraca Perdagangan & Fiskal
-
Impor naik → defisit neraca berjalan bisa membengkak (karena lebih banyak uang keluar negeri).
-
Kalau pemerintah mensubsidi harga gas, maka beban APBN naik → potensi pengurangan subsidi sektor lain atau utang tambahan.
3. Biaya Energi Dalam Negeri Naik
-
Karena gas dari luar biasanya lebih mahal (terutama dalam bentuk LNG), maka:
-
Harga listrik bisa naik (PLTG pakai gas)
-
Industri energi-intensif (semen, baja, pupuk) kena imbas
-
Efek lanjutan: inflasi barang & jasa
-
4. Pelemahan Daya Saing Industri
-
Negara pengimpor gas dalam jumlah besar punya biaya produksi lebih tinggi, apalagi kalau saingan mereka dapat gas murah dari domestik.
-
Industri bisa kalah bersaing dan bahkan relokasi ke negara dengan pasokan gas lebih murah.
Contoh Nyata:
-
Eropa (2022) setelah konflik Rusia-Ukraina: karena ketergantungan gas Rusia, mereka kena krisis energi → listrik mahal, industri shutdown, inflasi melonjak.
-
Jepang sejak nuklir ditutup, jadi impor LNG besar-besaran → harga energi domestik tinggi.
Apa Solusinya?
-
Meningkatkan produksi gas domestik (eksplorasi baru, efisiensi, insentif).
-
Diversifikasi sumber energi (energi terbarukan, nuklir, bioenergi).
-
Kebijakan efisiensi energi di sektor industri & rumah tangga.
-
Perjanjian jangka panjang dengan negara pemasok → stabilitas harga.